[:en]Pandangan Tomy Winata Soal Anak Muda dan Ekonomi Kerakyatan[:id]Pandangan Tomy Winata Soal Anak Muda dan Ekonomi Kerakyatan[:]
[:en]
Dalam pandangan Tomy Winata, kemajuan Indonesia sepuluh tahun mendatang ditentukan hal yang amat mendasar. Yakni perbaikan sektor riil yang mampu meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat akar rumput.
”TANPA melakukan itu, rasanya susah membayangkan bagaimana Indonesia sepuluh tahun yang akan datang,” ujar Tomy dalam perbincangan santai di Hotel Borobudur, penginapan bintang lima di Jakarta milik pendiri Grup Artha Graha tersebut, Senin (21/12/2015). Sore itu, dengan didampingi sejumlah stafnya, Tomy meluangkan waktu untuk bicara tentang masa depan Indonesia.
Pria kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, tersebut menyatakan, para pemangku kebijakan di Indonesia perlu memperbaiki sektor riil dan peduli terhadap ekonomi kerakyatan. Kemandirian pangan dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) harus menyentuh masyarakat di akar rumput yang tersebar di desa dan kampung-kampung.
Peningkatan kualitas SDM, menurut Tomy, tak cukup hanya ditempuh lewat pendidikan. Bagi dia, struktur penunjang SDM ada pada makanan bergizi. TW, begitu Tomy Winata biasa disapa, sangat risau atas fenomena makanan bergizi untuk anak-anak yang kini mulai terabaikan.
”Pemerintah jangan mengabaikan gizi anak-anak yang ada di desa dan perkampungan. Jangan biarkan mereka jadi generasi mi instan dan instant foods lainnya,” tutur pemilik Sudirman Central Business District (SCBD), kawasan bisnis terpadu pertama dan paling prestisius di tanah air, tersebut.
Menurut TW, dulu anak-anak kecil berangkat sekolah membawa bekal makanan bergizi dari orang tuanya. Sampai populer jargon empat sehat lima sempurna. ”Kalau sekarang tidak. Berangkat ke sekolah bawa bekal mi instan,” candanya. Dia juga masih ingat betul bagaimana zaman sekolah dulu banyak tersedia jajanan sehat, salah satunya kacang-kacangan.
”Sekarang instant foods semua. Bagaimana bisa ada mens sana in corpore sano (di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat, Red)?” ungkapnya.
Tomy yang juga aktif dalam kegiatan sosial, terutama lewat Artha Graha Peduli, risau ketika berkunjung ke beberapa daerah. Dia melihat penganan anak-anak dan masyarakat desa bukan lagi hidangan berprotein. ”Dulu saya masih banyak melihat orang-orang makan petai china dan teri. Sekarang nyaris tidak ada, lah terinya diekspor semua,” ucapnya.
Soal ketahanan pangan dan makanan bergizi, Tomy memang terkesan memiliki perhatian serius. Misalnya, melalui Artha Grahanya, dia sengaja membuat bisnis pengembangan padi hibrida. Bisnis tersebut dimaksudkan untuk mendukung peningkatan produksi padi dalam negeri.
Di sela perbincangan dengan koran ini, Tomy juga memilih menyantap kudapan-kudapan sehat. Dia lebih memilih ngemil polo pendem seperti
kacang dan ketela rebus daripada burger mini yang juga ada di hadapannya.
TW berpandangan, pengeroposan anak muda suatu bangsa dilakukan dengan menghajar generasi bawahnya (usia balita). Gizi yang tidak layak sejak kecil membuat anak-anak akan tumbuh dengan mental yang lemah. Gampang frustrasi, gampang menyerah, serta berpikir instan.
”Mereka bakal jadi generasi can’t enjoy the pain and pressure,” tegas pria 57 tahun itu.
Fenomena gizi memang terlihat sebagai persoalan sederhana. Namun, menurut TW, jika tidak diperbaiki, akan menjadi masalah besar bagi bangsa.
”Generasi yang seperti itu bisa menjadi musuh dari dalam. Mereka mudah diiming-imingi sesuatu yang bertentangan dengan ideologi bangsa,” tuturnya.
Tomy mencontohkan bagaimana sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia ada organisasi pemuda yang melaksanakan kegiatan dengan membawa golok. Juga perkelahian fisik di ruang-ruang intelektual seperti rapat-rapat DPR. Tomy mengajak masyarakat melihat hal tersebut sebagai ancaman yang tidak sehat.
Jika pemerintah sudah punya konsep yang baik terhadap SDM melalui peningkatan gizi masyarakatnya, Tomy yakin program-program ekonomi kerakyatan bakal berjalan dengan baik.
”Kalau soal pengusaha menengah dan atas sih biarin aja. Asal pemerintah bisa menjamin kepastian hukum yang adil dan transparan,” imbuhnya.
Tomy mengatakan, ekonomi kerakyatan juga harus didukung program-program yang menjadikan masyarakat sebagai entrepreneur berdaya saing. ”Sejak dini pendidikan harus mengarahkan pada pelatihan entrepreneurship,” tegasnya.
Semangat menumbuhkan entrepreneurship alias kewirausahaan, menurut Tomy, harus ditanamkan sejak kecil. Hal itu juga harus dibarengi penancapan semangat kebangsaan yang mulai luntur. Sebab, menurut dia, jika tidak memiliki budi pekerti dan wawasan kebangsaan yang tinggi, seseorang lebih mudah dirayu untuk dibajak negara lain.
Tomy berharap pemerintah dan aparat penegak hukum membuat kajian agar dana-dana bantuan masyarakat akar rumput tidak mudah dimainkan.
Dia berharap dana bantuan seperti itu bisa menjadi senjata pengentasan pengangguran, lahan tidur, dan kebodohan. ”Program prorakyat selama ini sebenarnya banyak, tapi pertanyaannya: nyampai gak itu?” ucapnya.
Entrepreneurship bisa ditumbuhkan melalui industri-industri kreatif. Menurut Tomy, hal itu bisa menjadi andalan luar biasa bagi perekonomian Indonesia. Sebab, Indonesia memiliki kekayaan leluhur yang sangat banyak dan orisinal.
”Semua daerah memiliki kebudayaan yang jika dijadikan industri dengan sentuhan teknologi akan mendongkrak perekonomian rakyat,” ujarnya.
Dalam pandangan Tomy, sepuluh tahun ke depan Indonesia bisa take off jika pemerintah mampu mengentaskan 90 persen angka pengangguran dan memanfaatkan 80 persen lahan tidur.
”Untuk mewujudkan itu, syaratnya hal-hal fundamental harus dibenahi. Sebab, masih banyak
rakyat kita yang ada di kelas menengah ke bawah,” pungkasnya.
Sumber: http://digital.jawapos.com/shared.php?type=imap&date=20160105&name=H1-A001216[:id]
Dalam pandangan Tomy Winata, kemajuan Indonesia sepuluh tahun mendatang ditentukan hal yang amat mendasar. Yakni perbaikan sektor riil yang mampu meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat akar rumput.
”TANPA melakukan itu, rasanya susah membayangkan bagaimana Indonesia sepuluh tahun yang akan datang,” ujar Tomy dalam perbincangan santai di Hotel Borobudur, penginapan bintang lima di Jakarta milik pendiri Grup Artha Graha tersebut, Senin (21/12/2015). Sore itu, dengan didampingi sejumlah stafnya, Tomy meluangkan waktu untuk bicara tentang masa depan Indonesia.
Pria kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, tersebut menyatakan, para pemangku kebijakan di Indonesia perlu memperbaiki sektor riil dan peduli terhadap ekonomi kerakyatan. Kemandirian pangan dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) harus menyentuh masyarakat di akar rumput yang tersebar di desa dan kampung-kampung.
Peningkatan kualitas SDM, menurut Tomy, tak cukup hanya ditempuh lewat pendidikan. Bagi dia, struktur penunjang SDM ada pada makanan bergizi. TW, begitu Tomy Winata biasa disapa, sangat risau atas fenomena makanan bergizi untuk anak-anak yang kini mulai terabaikan.
”Pemerintah jangan mengabaikan gizi anak-anak yang ada di desa dan perkampungan. Jangan biarkan mereka jadi generasi mi instan dan instant foods lainnya,” tutur pemilik Sudirman Central Business District (SCBD), kawasan bisnis terpadu pertama dan paling prestisius di tanah air, tersebut.
Menurut TW, dulu anak-anak kecil berangkat sekolah membawa bekal makanan bergizi dari orang tuanya. Sampai populer jargon empat sehat lima sempurna. ”Kalau sekarang tidak. Berangkat ke sekolah bawa bekal mi instan,” candanya. Dia juga masih ingat betul bagaimana zaman sekolah dulu banyak tersedia jajanan sehat, salah satunya kacang-kacangan.
”Sekarang instant foods semua. Bagaimana bisa ada mens sana in corpore sano (di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat, Red)?” ungkapnya.
Tomy yang juga aktif dalam kegiatan sosial, terutama lewat Artha Graha Peduli, risau ketika berkunjung ke beberapa daerah. Dia melihat penganan anak-anak dan masyarakat desa bukan lagi hidangan berprotein. ”Dulu saya masih banyak melihat orang-orang makan petai china dan teri. Sekarang nyaris tidak ada, lah terinya diekspor semua,” ucapnya.
Soal ketahanan pangan dan makanan bergizi, Tomy memang terkesan memiliki perhatian serius. Misalnya, melalui Artha Grahanya, dia sengaja membuat bisnis pengembangan padi hibrida. Bisnis tersebut dimaksudkan untuk mendukung peningkatan produksi padi dalam negeri.
Di sela perbincangan dengan koran ini, Tomy juga memilih menyantap kudapan-kudapan sehat. Dia lebih memilih ngemil polo pendem seperti
kacang dan ketela rebus daripada burger mini yang juga ada di hadapannya.
TW berpandangan, pengeroposan anak muda suatu bangsa dilakukan dengan menghajar generasi bawahnya (usia balita). Gizi yang tidak layak sejak kecil membuat anak-anak akan tumbuh dengan mental yang lemah. Gampang frustrasi, gampang menyerah, serta berpikir instan.
”Mereka bakal jadi generasi can’t enjoy the pain and pressure,” tegas pria 57 tahun itu.
Fenomena gizi memang terlihat sebagai persoalan sederhana. Namun, menurut TW, jika tidak diperbaiki, akan menjadi masalah besar bagi bangsa.
”Generasi yang seperti itu bisa menjadi musuh dari dalam. Mereka mudah diiming-imingi sesuatu yang bertentangan dengan ideologi bangsa,” tuturnya.
Tomy mencontohkan bagaimana sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia ada organisasi pemuda yang melaksanakan kegiatan dengan membawa golok. Juga perkelahian fisik di ruang-ruang intelektual seperti rapat-rapat DPR. Tomy mengajak masyarakat melihat hal tersebut sebagai ancaman yang tidak sehat.
Jika pemerintah sudah punya konsep yang baik terhadap SDM melalui peningkatan gizi masyarakatnya, Tomy yakin program-program ekonomi kerakyatan bakal berjalan dengan baik.
”Kalau soal pengusaha menengah dan atas sih biarin aja. Asal pemerintah bisa menjamin kepastian hukum yang adil dan transparan,” imbuhnya.
Tomy mengatakan, ekonomi kerakyatan juga harus didukung program-program yang menjadikan masyarakat sebagai entrepreneur berdaya saing. ”Sejak dini pendidikan harus mengarahkan pada pelatihan entrepreneurship,” tegasnya.
Semangat menumbuhkan entrepreneurship alias kewirausahaan, menurut Tomy, harus ditanamkan sejak kecil. Hal itu juga harus dibarengi penancapan semangat kebangsaan yang mulai luntur. Sebab, menurut dia, jika tidak memiliki budi pekerti dan wawasan kebangsaan yang tinggi, seseorang lebih mudah dirayu untuk dibajak negara lain.
Tomy berharap pemerintah dan aparat penegak hukum membuat kajian agar dana-dana bantuan masyarakat akar rumput tidak mudah dimainkan.
Dia berharap dana bantuan seperti itu bisa menjadi senjata pengentasan pengangguran, lahan tidur, dan kebodohan. ”Program prorakyat selama ini sebenarnya banyak, tapi pertanyaannya: nyampai gak itu?” ucapnya.
Entrepreneurship bisa ditumbuhkan melalui industri-industri kreatif. Menurut Tomy, hal itu bisa menjadi andalan luar biasa bagi perekonomian Indonesia. Sebab, Indonesia memiliki kekayaan leluhur yang sangat banyak dan orisinal.
”Semua daerah memiliki kebudayaan yang jika dijadikan industri dengan sentuhan teknologi akan mendongkrak perekonomian rakyat,” ujarnya.
Dalam pandangan Tomy, sepuluh tahun ke depan Indonesia bisa take off jika pemerintah mampu mengentaskan 90 persen angka pengangguran dan memanfaatkan 80 persen lahan tidur.
”Untuk mewujudkan itu, syaratnya hal-hal fundamental harus dibenahi. Sebab, masih banyak
rakyat kita yang ada di kelas menengah ke bawah,” pungkasnya.
Sumber: http://digital.jawapos.com/shared.php?type=imap&date=20160105&name=H1-A001216[:]